Dua puluh empat jam dalam sehari adalah kurang, kata si sibuk. Sementara kata yang nganggur, itu terlalu lama. Suka atau tidak, tidak akan mengubahnya.
Dari 24 jam yang kita lalui, mungkin hanya beberapa jam saja yang memiliki makna mendalam, selebihnya hal-hal yang tak berbeda dari kemarin.
Hari sudah sore, dan hujan, saya sudah punya janji dengan murid saya, jika orientasi hanya sekedar gaji, rasanya lebih menyenangkan duduk di tempat yang hangat, sambil membaca berita, buku atau mengerjakan tugas. Tapi saya yakin ada hal-hal baru yang akan saya temui jika saya berani keluar dari kondisi nyaman ini. menerobos hujan dan menjemput ilmu.
bukankah ilmu itu memang harus dijemput? dan tentu Tuhan akan membalas sesuai dengan usaha kita. Alasan apa yang membuat kita tidak tergoda pada hadits yang menceritakan bahwa mempelajari dua bab ilmu adalah lebih baik daripada dunia dan seisinya di mata Allah SWT.
Di angkot saya bertemu dengan kenalan lama, dan bertegur sapa, silaturahmi terjadi. Mengobrol dengan penumpang yang lain dan memberikan informasi yang mereka butuhkan, membuat saya merasa senang. Bertemu dengan penumpang lain, melihat gaya fashion mereka, mendengar apa yang mereka bicarakan menambah pengetahuan bagi saya.
Tiba di rumah murid (panggil saja Putri), saya harus ke kamar mandi dulu karena ada tragedi banjir lumpur di tas saya yang disebabkan oleh Jus Alpuket. My books, kuyup ujung-ujungnya, jaket jadi kotor. Dari kejadian ini saya jadi tahu kalo setelah kering, bekas tumpahannya gak bikin bau; dan saya jadi tahu kalo Putri orangnya cukup sabar.
Soal-soal meluncur untuk dikerjakan, dengan membantu dia belajar, melatih dan menambah keilmuan saya. dari yang saya amati, untuk soal hitungan, ia tidak lepas dari membuat otretan dan kadangkala kalkulator. Untuk hitungan yang cukup mudah, saya berusaha memegang tangannya agar mencoba membayangkan di kepala dan tidak menggunakan otretan. Karena tidak terbiasa, perkalian sederhana saja membuat dia panik. Untuk berikutnya dia sudah mulai membiasakan.
Mbak yang suka bantu di rumah murid saya berpamitan hendak pulang ke Jawa, Putri menangis menitikkan air mata, mungkin ini hari terakhir kebersamaan mereka setelah 7 tahun begitu akrab menyayangi dan menghormati, saya hanya mengamati. Mbaknya bilang :”Ade’nya jangan nangis, udah nggak usah nangis”
Putri berlinang air mata tanpa sepatah kata-pun. Dan saya menyadari betapa dekat hubungan mereka. Seingat saya orang tua putri jarang terlihat di rumah karena sibuk bekerja hingga petang, tentu lebih sering dengan mbaknya. Si mbak hampir turun air matanya, tapi ditahan, sedapat mungkin ingin perpisahan tersebut menjadi ringan. Mbak pergi dianter supir keluarga tersebut. Putri masih berlinang air mata. saya menunggu. Teringat pisang bakar keju yang di buat si mbak, rasa enaknya masih di ingatan.
“Ayo teh kita lanjut lagi” aku kagum dengan kemampuan anak ini me-manage perasaannya. EQ-nya pasti bagus.
“Oke, coba yg tadi sudah dibahas, ditulis ulang biar tambah mantep”
Pulang ngajar sekitar jam 6 sore. langit masih biru, awannya berwarna jingga karena terkena semburat senja. It’s beautiful !
Selalu ada hal baru yang bisa dipetik jika kita tidak meremehkan/melarikan diri dari suatu hal.
Allah sesuai prasangka hamba-Nya.